Karya Prof. Dr. Tjetjep Rohendi Rohidi, M.A.
69 MENITI TANGGA, MENATA RASA, MENERA TANDA
Banyak orang mengenal Profesor Dr. Tjetjep Rohendi Rohidi, M.A. sebagai pakar kebudayaan, antropolog, atau Guru Besar dalam Pendidikan Seni. Dalam bidang akademis, beliau lebih ahli dan mumpuni dari orang-orang yang disebut serta menyebut dirinya sebagai budayawan. Pencapaian karier dalam meniti tangga puncak sebagai Guru Besar diraihnya selama sekitar 20 tahun sejak menjadi dosen di IKIP Semarang yang sekarang menjadi Unnes. Tidak banyak orang pada waktu itu yang berhasil mendapatkannya, apalagi dalam usia kurang dari lima puluhan itu. Soal penelitian, beliaulah pelopor pendekatan kualitatif di lembaga tempatnya bekerja. Belum lagi soal mengajar, bahkan hingga mancanegara, di pelbagai lembaga pendidikan seni beliau jalani.
Mungkin belum banyak yang tahu, jika Pak Tjetjep – panggilan akrab beliau - diam-diam juga berkiprah dalam dunia kekaryaan seni rupa. Sebagai dosen seni rupa, di masa mudanya Pak Tjetjep telah aktif mengikuti berbagai kegiatan pameran seni rupa. Karya-karyanya menawarkan sesuatu yang baru, misalnya pada Pameran Seni Rupa Dosen IKIP se-Indonesia tahun 1982, menampilkan karya kolase tempelan topeng-topeng kertas yang dibalut dengan sobekan kertas dan dicat putih. Belum lagi kolase plastik yang dilekatkan dengan membakarnya yang membangun kerutan-kerutan di bidang lukisnya. Lalu karya dengan pencetan tube cat yang menciptakan noktah dan garis putih menggelinjang di atas bidang lukis mika hitam, simpel tapi mengundang perhatian.
Melalui karya-karyanya, sering Pak Tjetjep menyadarkan wawasan berkesenian kepada para pekerja seni yang melukis representatif naturalistik dengan tema-tema lumrah. Pak Tjetjep pun gemar menulis dan membuat ulasan tentang pameran. Kritikannya terhadap karya-karya pelukis Semarang, menjadi terkenal dengan sindiran lukisan “mangga pisang jambu”, karena pada waktu itu banyak pelukis yang berkutat melukis benda-benda keseharian, bunga, dan buah-buahan. Paling jauh lukisan-lukisan bergaya Dullah atau bahkan lukisan pemandangan yang turistik. Selain menawarkan blue print terhadap para pelukis Semarang, melalui tulisan dan karya-karyanya Pak Tjetjep mampu memberi iklim inovatif terhadap perkembangan seni lukis Semarang.
Pameran bergengsi yang diikutinya antara lain ialah Pameran Karya Guru Seni Rupa se-Indonesia tahun 1981 di Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta. Salah satu karyanya dalam pameran itu telah dipilih untuk menghiasi halaman sampul depan katalog pameran itu, padahal karya-karya Widayat, Srihadi S, dan Nyoman Gunarso berada di halaman sampul belakang. Lalu Pameran Eskpresi yang diikuti oleh 17 Pelukis Indonesia di Gedung Juang’45 Semarang pada tahun 1994, bersama antara lain Amri Yahya, Fajar Sidik, dan Amang Rahman, kemudian tahun lalu pada pameran bersama di Semarang Contemporary Art Gallery bertajuk Kronotopos dalam Biennale Jateng #1.
Dalam pameran terdahulu, kadang lukisannya hanya menggunakan warna sederhana dengan cat keputih-putihan. Lalu di beberapa bagian terdapat sapuan, goresan, atau noktah dengan warna kuat, hitam, merah, atau jingga sehingga menciptakan irama visual. Kadang pula menggunakan elemen rupa raut dan garis dan latar luas yang dicat dengan deep colors dalam komposisi bersahaja dan kontemplatif. Penempatannya sangat dipertimbangkan ketika menata rasa estetisnya, sekalipun hasilnya tampak intuitif. Sesekali lukisannya mengeksplor tekstur taktil, dengan rekatan robekan plastik yang disulut dengan api, sehingga menciptakan kerutan-kerutan yang menarik, dipadu dengan sapuan cat. Kalau pun lukisannya mencitrakan sesuatu, itu ditampilkan secara impresif.
Dalam pameran tunggal seni rupa kali ini, Pak Tjetjep menampilkan 69 karya. Pameran mengiringi ulang tahunnya dalam menapaki usia ke-69. Penyelenggaraannya sekaligus dikaitkan dengan kegiatan mangayubagya peringatan Bulan Bahasa dan Seni 2017 pada Fakultas Bahasa dan Seni Unnes. Karya-karya yang dipamerkan meliputi karya grafis, lukisan, dan kolase, dalam pelbagai ukuran, kecil dan besar, menggunakan bermacam media dan teknik. Semuanya bertahun 2017 dan belum pernah dipamerkan. Coraknya beragam, tetapi hemat saya tak dapat dipisahkan dari iklim berkesenian di Bandung yang membentuknya sejak muda. Di sana ada pelukis sohor Ahmad Sadali dengan karyanya yang abstrak. Ada Popo Iskandar, dosennya, dengan lukisan-lukisan yang ekspresif, esensial, dan ritmis. Juga ada Nana Bana dengan bercak-bercak dan guratan warna-warna cerah yang impresif yang agaknya pernah menarik perhatiannya.
Karya-karya yang dipamerkan kebanyakan abstrak, yang memang dari dulu disukainya. Judul-judul “Rupa”, “Imajinasi”, “Garis dan Warna”, “Garis dan Bidang”, “Merah Merona”, “Panorama Warna” dan sejenisnya dalam karyanya, mempertegas pilihan kecenderungan lukisannya. Tetapi pak Tjetjep bukanlah orang yang suka keseragaman dan kemapanan. Sikapnya itu membuat aktivitas berkeseniannya berproses terus, senang bereksplorasi dan melakukan eksperimen dalam kehidupan kreativitasnya. Kegemarannya bereksplorasi ini terlihat dalam penggunaan berbagai medium dan teknik berkaryanya, semisal penggunaan campuran akrilik berbasis air dengan cat minyak, kombinasi cap memakai kasa dan cat semprot, tuangan aspal dan cat, sapuan kuas berpadu dengan lelehan, cipratan, tetesan cat dan torehan garis, penggunaan kertas daur ulang, melubangi kertas dengan menyulutnya lalu melapisi dengan kertas warna, dan lain-lain. Beberapa judul lukisannya jelas mengindikasikan akan hal ini, misalnya pada “Bermain 1”, “Bermain 2”, dan “Bermain 3”.
Bermain I. mixmedia print 40X27,5 cm |
Karya-karya grafisnya yang hitam putih lebih mengandalkan goresan-goresan liris yang berpadu dengan jejak-jejak dan bercak monoprint-nya. Atau di atas medium kertas daur ulang, karyanya mencitrakan perahu, ikan atau jala-jala dan garis pantai atau cakrawala. Berseling dengan bulatan kumparan, mengingatkan pada bentuk bulan atau matahari sebagai aksentuasi dan penyeimbang komposisi. Tetapi bukan dalam tatanan seperti gambaran pemandangan, sebab bisa saja subyek perahu tiba-tiba menyembul dari atas dan tampak menggantung pada bidang gambarnya. Salah satu karya monoprint-nya yang hitam putih berjudul “Bermain Garis” (40X30 cm) bahkan semata menampilkan keindahan garis itu sendiri, yakni lengkung-lengkung garis ikal yang bersilangan dan bentuk-bentuk kumparan. Karya grafis lainnya menggunakan persilangan garis-garis vertikal dan horizontal, dipadukan dengan bidang-bidang polos persegi yang kontras, atau dengan bercak dan jejak-jejak tekstural dari kain kasa yang diterakan.
Bermain Garis. monoprint.40X30cm |
Bunga Alam I. mixedmedia print. 35X35cm |
Menarik pula ialah karya-karya mungil (rata-rata 35 X 35 cm), hasil monoprint atas tuangan dan percikan cat di atas permukaan air. Pemindahan cat ke kertas menerakan pola-pola abstrak dalam bentuk tak beraturan. Lalu secara berani Pak Tjetjep memadukannya dengan bentuk-bentuk geometris tajam berlawanan, dengan cara menindihnya melalui sablon semprot warna dan karena itu menjadi sangat kontras. Dengan paduan ini, Pak Tjetjep seakan menyuarakan perlawanan atas kemapanan dan ketidakberaturan di sekelilingnya. Melalui tekstur, garis, bercak dan noktah, Pak Tjetjep menera tanda. Baginya, penataan elemen-elemen rupa itu secara murni mampu mewujudkan rasa estetis, membangkitkan citra dan imajinasi, sebagaimana orang dapat menemukan keindahan pada bintik-bintik daun, keriput kulit kayu, bercak jamur pada kulit pohon, atau gurat-gurat marmer dan retak pada cadas atau bebatuan.
Beberapa karya lukis catnya yang dalam ukuran terbilang tidak besar, menggunakan aksen-aksen lelehan dan cipratan warna mencolok, biru, merah, kuning, atau ungu. Misalnya pada lukisan berjudul “Panorama Warna 1” (27 X 39,5 cm) dan “Panorama Warna 2” (28 X 40 cm). Juga di sini tampak kontras dengan latarnya yang redup berbarik dari medium kertas. Elemen raut hasil lelehan atau cipratan itu berpadu secara selektif dengan goresan garis-garis hitam, atau sesekali muncul tanda-tanda seperti aksara dan teks bermakna.
Panorama Warna. Acrylic & bitumen on canvas. 88 X 250 cm |
Bunga Malam.135X150 cm |
Rimbun Hijau. 160 X 130 cm |
Kedua, goresan dan sapuan cat yang hampir sama penuh energi berpadu dengan percikan dan bercak cat, tetapi dengan pengendalian warna yang tampak selektif. Misalnya warna-warna hitam, biru dan hijau yang dominan dan menjadi latarnya, ditindih noktah kuning atau torehan garis putih, pada lukisan “Cakrawala” (2X 164 X 152 cm). Atau pada lukisan “Rimbun Hijau” (160 x 130 cm) dengan sapuan-sapuan lebar aneka arah, berdampingan atau tumpang tindih, yang agaknya semakin mengarahkannya ke cenderungan ketiga.
Merah Merona. 145 X 128 cm |
Imaji Madinah I. 120 X 100 cm |
Pada kecenderungan ketiga ini, bidang-bidang sapuan lebar dibiarkan tetap polos, sebagian diisi dengan torehan garis-garis bersilangan atau gores-gores kuas, membangun raut geometris dan citra kubah, kemudian ada goresan sugestif bangunan bertingkat dan berjejalnya bangunan tinggi. Yang demikian itu misalnya pada sejumlah lukisannya berjudul “Imaji Madinah”, hasil imajinasi dari pengalaman spiritulnya di tanah suci tahun lalu. Karya lain diisi teks singkat yang sarat dengan pesan-pesan, bertalian dengan ihwal kehidupan, kebebasan, ketimpangan sosial, eksistensi diri ala Descartes, bahkan cinta. Meskipun demikian, saya kira Pak Tjetjep lebih mempercayakan komposisi elemen-elemen rupa, daripada menorehkan pesan-pesan verbal pada kanvasnya. Melalui karya-karyanya beliau ingin mewujudkan bahwa ungkapan elemen rupa berikut cara penataannya dalam komposisi visual, mampu menghadirkan impresi, mengundang interpretasi, sekaligus dapat menitipkan pesan-pesan, tanpa terikat oleh obyek alam nyata dan unsur verbal. Saya jadi ingat ungkapan Édouard Manet (1832 – 1883), bahwa sebuah lukisan bukanlah soal “apa” melainkan “bagaimana”.
Bukan Pak Tjetjep jika karya-karyanya dalam satu periode tidak penuh variasi. Kenyataan ini sekaligus menggambarkannya sebagai seorang yang sarat dengan gagasan dan keranjingan bereksplorasi seni. Tiga buah lukisannya yang berjudul “Hujan Pancaroba”, menampilkan susunan spot berraut segitiga yang berulang, merepresentasikan tetesan air hujan dan menyuguhkan kesan optik, sebuah kecenderungan lain yang saya lihat dari karya-karyanya.
Lalu sebuah lukisannya yang menggunakan medium rentang tali dari benang-benang putih di atas putih kanvas berukuran 100 X 100cm. Rentang benang membentuk garis-garis ke arah kiri kanan memotong kanvas, sementara di pinggir atas dan bawah kanvas terdapat sapuan bidang memanjang aspal hitam. Tak ada warna lain. Sebagaimana lukisannya yang menggelitik, lukisan itu diberi judul “Horizontali”. Sebuah judul “plesetan” dari horizon dan tali yang otentik dan jenaka. Lukisan tak kalah menarik lainnya dalam ukuran besar yakni 208 X 236 cm terdiri atas dua panel juga secara cerdik menggunakan medium tali. Penggunaan tali plastik berwarna oranye yang dijahitkan pada bidang lukisan dari lembar fiber biru gelap berbarik garis-garis halus, yang sekaligus dimanfatkannya sebagai medium lukisan, menjadikan kombinasi tampak kontras dan tetap terjaga keserasiannya. Rangkaian jahitan tali membangun garis-garis bagai anak tangga yang tersusun ritmis di atas bidang biru gelap yang luas, menjadikan lukisan ini lebih tampil kontemporer.
Barik Garis. akrilik, bitumen, dan tali pada plastik fiber. 207X235 cm |
Harmoni 69. kayu, kaca patri, dan kuningan pada papan kayu. 100X140X30 cm |
Karya kolasenya dan barangkali dapat menjadi ikon pameran ialah karya rekatan yang memanfaatkan dua potong tampang kayu keropos karena lapuk, serpihan kaca patri, dan logam berbentuk tombol-tombol pada dua papan kayu tebal selebar 100 X 140 cm. Konfigurasi penampang kayu kecoklatan yang telah ber-coating dan logam-logam keemasan membangun angka 69. Secara keseluruhan karya ini tidak hanya cocok sebagai penanda pameran 69 karya Prof. Tjetjep, melainkan juga seolah mengajak kita untuk berfikir, merenung: raga boleh renta dan lapuk pada usia 69 tahun, tetapi semangat untuk menghasilkan karya-karya emas harus tetap terpatri di hati dalam berkreasi seni. Enam puluh sembilan karya bertahun sama bukanlah jumlah yang sedikit, bahkan sekitar 20-an karya berhasil diselesaikan selama sepekan menjelang pameran berlangsung!
Komposisi bidang-bidang lebar, polos, terkendali, sesekali menorehkan garis dan menabur barik, penggunaan kombinasi warna-warna kontras, kiranya merupakan gambaran jati diri Prof. Tjetjep sekarang ini. Setelah puluhan tahun meniti tangga karier, menggapai asa di kota Semarang yang panas dan hingar bingar, mewariskan bidang-bidang ilmu secara luas lugas tak kenal ingkar, menata rasa mengolah rupa dan menerakan tanda dalam berkarya, kini, yang dalam keadaan lapang dan bahagia membagikan segudang pengalaman estetisnya yang mengesankan. Semoga menginspirasi dan memotivasi banyak orang.
Komposisi 8. akrilik dan cat minyak pada kanvas 18 X 20 cm. |
Bunga Senja. Bitumen, acrylic, oil on canvas. 78 X 118 cm |
Selamat berpameran Prof. Tjetjep, Happy Birthday, dan Selamat memperingati Bulan Bahasa dan Seni ’17.
Semarang, September 2017
Sinengkalan surya lelangon rupa datan rinengga
Aryo Sunaryo