Kamis, 28 September 2017

                                 Catatan Kuratorial Pameran Tunggal Seni Rupa
                                   Karya Prof. Dr. Tjetjep Rohendi Rohidi, M.A.

69 MENITI TANGGA, MENATA RASA, MENERA TANDA
 


Banyak orang mengenal Profesor Dr. Tjetjep Rohendi Rohidi, M.A. sebagai pakar kebudayaan, antropolog, atau Guru Besar dalam Pendidikan Seni. Dalam bidang akademis, beliau lebih ahli dan mumpuni dari orang-orang yang disebut serta menyebut dirinya sebagai budayawan. Pencapaian karier dalam meniti tangga puncak sebagai Guru Besar diraihnya selama sekitar 20 tahun sejak menjadi dosen di IKIP Semarang yang sekarang menjadi  Unnes. Tidak banyak orang pada waktu itu yang berhasil mendapatkannya, apalagi dalam usia kurang dari lima puluhan itu. Soal penelitian, beliaulah pelopor pendekatan kualitatif di lembaga tempatnya bekerja. Belum lagi soal mengajar, bahkan hingga mancanegara, di pelbagai lembaga pendidikan seni beliau jalani.

 


Mungkin belum banyak yang tahu, jika Pak Tjetjep – panggilan akrab beliau -  diam-diam juga berkiprah dalam dunia kekaryaan seni rupa. Sebagai dosen seni rupa, di masa mudanya Pak Tjetjep telah aktif mengikuti berbagai kegiatan pameran seni rupa. Karya-karyanya menawarkan sesuatu yang baru, misalnya pada Pameran Seni Rupa Dosen IKIP se-Indonesia tahun 1982, menampilkan karya kolase tempelan topeng-topeng kertas yang dibalut dengan sobekan kertas dan dicat putih. Belum lagi kolase plastik yang dilekatkan dengan membakarnya yang membangun kerutan-kerutan di bidang lukisnya. Lalu karya dengan pencetan tube cat yang menciptakan noktah dan garis putih menggelinjang di atas bidang lukis mika hitam, simpel tapi mengundang perhatian.

Melalui karya-karyanya, sering Pak Tjetjep menyadarkan wawasan berkesenian kepada para pekerja seni yang melukis representatif naturalistik dengan tema-tema lumrah. Pak Tjetjep pun gemar menulis dan membuat ulasan tentang pameran. Kritikannya terhadap karya-karya pelukis Semarang, menjadi terkenal  dengan sindiran lukisan “mangga pisang jambu”, karena pada waktu itu banyak pelukis yang berkutat melukis benda-benda keseharian, bunga, dan buah-buahan. Paling jauh lukisan-lukisan bergaya Dullah atau bahkan lukisan pemandangan yang turistik. Selain menawarkan blue print terhadap para pelukis Semarang, melalui tulisan dan karya-karyanya Pak Tjetjep mampu memberi iklim inovatif terhadap perkembangan seni lukis Semarang.

Pameran bergengsi yang diikutinya antara lain ialah Pameran Karya Guru Seni Rupa se-Indonesia tahun 1981 di Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta. Salah satu karyanya dalam pameran itu telah dipilih untuk menghiasi halaman sampul depan katalog pameran itu, padahal karya-karya Widayat, Srihadi S, dan Nyoman Gunarso berada di halaman sampul belakang. Lalu Pameran Eskpresi yang diikuti oleh 17 Pelukis Indonesia di Gedung Juang’45 Semarang pada tahun 1994, bersama antara lain Amri Yahya, Fajar Sidik, dan Amang Rahman, kemudian tahun lalu pada pameran bersama di Semarang Contemporary Art Gallery bertajuk Kronotopos dalam Biennale Jateng #1.

Dalam pameran terdahulu, kadang lukisannya hanya menggunakan warna sederhana dengan cat keputih-putihan. Lalu di beberapa bagian terdapat sapuan, goresan, atau noktah dengan warna kuat, hitam, merah, atau jingga sehingga menciptakan irama visual. Kadang pula menggunakan elemen rupa raut dan garis dan latar luas yang dicat dengan deep colors dalam komposisi bersahaja dan kontemplatif. Penempatannya sangat dipertimbangkan ketika menata rasa estetisnya, sekalipun hasilnya tampak intuitif. Sesekali lukisannya mengeksplor tekstur taktil, dengan rekatan robekan plastik yang disulut dengan api, sehingga menciptakan kerutan-kerutan yang menarik, dipadu dengan sapuan cat. Kalau pun lukisannya mencitrakan sesuatu, itu ditampilkan secara impresif. 

Dalam pameran tunggal seni rupa kali ini, Pak Tjetjep  menampilkan 69 karya. Pameran mengiringi ulang tahunnya dalam menapaki usia ke-69. Penyelenggaraannya  sekaligus dikaitkan dengan kegiatan mangayubagya peringatan Bulan Bahasa dan Seni 2017 pada Fakultas Bahasa dan Seni Unnes. Karya-karya yang dipamerkan meliputi karya grafis, lukisan, dan kolase, dalam pelbagai ukuran, kecil dan besar, menggunakan bermacam media dan teknik. Semuanya bertahun 2017 dan belum pernah dipamerkan. Coraknya beragam, tetapi hemat saya tak dapat dipisahkan dari iklim berkesenian di Bandung yang membentuknya sejak muda. Di sana ada pelukis sohor Ahmad Sadali dengan karyanya yang abstrak. Ada Popo Iskandar,  dosennya, dengan lukisan-lukisan yang ekspresif, esensial, dan ritmis. Juga ada Nana Bana dengan bercak-bercak dan guratan warna-warna cerah yang impresif yang agaknya pernah menarik perhatiannya.

Karya-karya yang dipamerkan kebanyakan abstrak, yang memang dari dulu disukainya. Judul-judul “Rupa”, “Imajinasi”, “Garis dan Warna”, “Garis dan Bidang”, “Merah Merona”, “Panorama Warna” dan sejenisnya dalam karyanya, mempertegas pilihan kecenderungan lukisannya. Tetapi pak Tjetjep bukanlah orang yang suka keseragaman dan kemapanan. Sikapnya itu membuat aktivitas berkeseniannya berproses terus, senang bereksplorasi dan melakukan eksperimen dalam kehidupan kreativitasnya. Kegemarannya bereksplorasi ini terlihat dalam penggunaan berbagai medium dan teknik berkaryanya, semisal penggunaan campuran akrilik berbasis air dengan cat minyak, kombinasi cap memakai kasa dan cat semprot, tuangan aspal dan cat, sapuan kuas berpadu dengan lelehan, cipratan, tetesan cat dan torehan garis, penggunaan kertas daur ulang, melubangi kertas dengan menyulutnya lalu melapisi dengan kertas warna, dan lain-lain. Beberapa judul lukisannya jelas mengindikasikan akan hal ini, misalnya pada “Bermain 1”, “Bermain 2”, dan “Bermain 3”.

Bermain I. mixmedia print 40X27,5 cm


Karya-karya grafisnya yang hitam putih lebih mengandalkan goresan-goresan liris yang berpadu dengan jejak-jejak dan bercak monoprint-nya. Atau di atas medium kertas daur ulang, karyanya mencitrakan perahu, ikan atau jala-jala dan garis pantai atau cakrawala. Berseling dengan bulatan kumparan, mengingatkan pada bentuk bulan atau matahari sebagai aksentuasi dan penyeimbang komposisi. Tetapi bukan dalam tatanan seperti gambaran pemandangan, sebab bisa saja subyek perahu tiba-tiba menyembul dari atas dan tampak menggantung pada bidang gambarnya. Salah satu karya monoprint-nya yang hitam putih berjudul “Bermain Garis” (40X30 cm) bahkan semata menampilkan keindahan garis itu sendiri, yakni lengkung-lengkung garis ikal yang bersilangan dan bentuk-bentuk kumparan. Karya grafis lainnya menggunakan persilangan garis-garis vertikal dan horizontal, dipadukan dengan bidang-bidang polos persegi yang kontras, atau dengan bercak dan jejak-jejak tekstural dari kain kasa yang diterakan.

 
Bermain Garis. monoprint.40X30cm


Bunga Alam I. mixedmedia print. 35X35cm

 
Menarik pula ialah karya-karya mungil (rata-rata 35 X 35 cm), hasil monoprint atas tuangan dan percikan cat di atas permukaan air. Pemindahan cat ke kertas menerakan pola-pola abstrak dalam bentuk tak beraturan. Lalu secara berani Pak Tjetjep memadukannya dengan bentuk-bentuk geometris tajam berlawanan, dengan cara menindihnya melalui sablon semprot warna dan karena itu menjadi sangat kontras. Dengan paduan ini, Pak Tjetjep seakan menyuarakan perlawanan atas kemapanan dan ketidakberaturan di sekelilingnya. Melalui tekstur, garis, bercak dan noktah, Pak Tjetjep menera tanda. Baginya, penataan elemen-elemen rupa itu secara murni mampu mewujudkan rasa estetis, membangkitkan citra dan imajinasi, sebagaimana orang dapat menemukan keindahan pada bintik-bintik daun, keriput kulit kayu, bercak jamur pada kulit pohon, atau gurat-gurat marmer dan retak pada cadas atau bebatuan.

Beberapa karya lukis catnya yang dalam ukuran terbilang tidak besar, menggunakan aksen-aksen lelehan dan cipratan warna mencolok, biru, merah, kuning, atau ungu. Misalnya pada lukisan berjudul “Panorama Warna 1” (27 X 39,5 cm) dan “Panorama Warna 2” (28 X 40 cm).  Juga di sini tampak kontras dengan latarnya yang redup berbarik dari medium kertas. Elemen raut hasil lelehan atau cipratan itu berpadu secara selektif dengan goresan garis-garis hitam, atau sesekali muncul tanda-tanda seperti aksara dan teks bermakna.



Panorama Warna. Acrylic & bitumen on canvas. 88 X 250 cm
Bunga Malam.135X150 cm

Rimbun Hijau. 160 X 130 cm
Lukisan catnya yang dalam ukuran besar juga demikian. Banyak menggunakan warna-warna mencolok, tapi ada beberapa kecenderungan. Pertama, sapuan bebas warna-warna cemerlang saling tindih, menciptakan lapisan-lapisan warna  merah, hijau, kuning, biru terang berseling dengan hitam, putih, dan abu2. Lapisan-lapisan cat tebal itu menciptakan barik dan goresan-goresan ekspresif penuh tenaga dan emosi kuat. Kita bisa lihat misalnya pada lukisan “Bunga Malam” (135 X 150 cm) atau lukisan cat minaknya “Panorama Warna” sepanjang 2,5 meter dalam paduan beberapa nada warna merah dan hijau, kuning, oranye, dan hitam, yang menurut saya khas warna Pak Tjetjep.

Kedua, goresan dan sapuan cat yang hampir sama penuh energi berpadu dengan percikan dan bercak cat, tetapi dengan pengendalian warna yang tampak selektif. Misalnya warna-warna hitam, biru dan hijau yang dominan dan menjadi latarnya, ditindih noktah kuning atau torehan garis putih, pada lukisan “Cakrawala” (2X 164 X 152 cm). Atau pada lukisan “Rimbun Hijau” (160 x 130 cm) dengan sapuan-sapuan lebar aneka arah, berdampingan atau tumpang tindih, yang agaknya semakin mengarahkannya ke cenderungan ketiga.
 

Merah Merona. 145 X 128 cm

Imaji Madinah I. 120 X 100 cm
Ketiga, ialah lukisan dengan sapuan-sapuan lebar menggunakan warna-warna tajam tetapi membentuk bidang-bidang luas nyaris rata, merah, biru, hijau, kuning, seperti pada “Merah Merona” (145 X 128 cm), atau yang dengan kombinasi coklat, hitam, dan putih pada “Hitam Pekat” (160 X 130 cm). Di sana sini muncul aksen bersitan garis atau deretan noktah yang ditata imbang dan ritmis.  Arah sapuan lebih terkendali, cenderung mendatar dan tegak, atau membentuk petak-petak. Tetapi bukan petak-petak geometri presisi seperti pada lukisan Mondrian atau Malevich, melainkan bertepi lebih bebas, soft, macam field-painting-nya Mark Rothko yang pernah dikagumi Ahmad Sadali.

Pada kecenderungan ketiga ini, bidang-bidang sapuan lebar dibiarkan tetap polos, sebagian diisi dengan torehan garis-garis bersilangan atau gores-gores kuas, membangun raut geometris dan citra kubah, kemudian ada goresan sugestif bangunan bertingkat dan berjejalnya bangunan tinggi. Yang demikian itu misalnya pada sejumlah lukisannya berjudul “Imaji Madinah”, hasil imajinasi dari pengalaman spiritulnya di tanah suci tahun lalu. Karya lain diisi teks singkat yang sarat dengan pesan-pesan, bertalian dengan ihwal kehidupan, kebebasan, ketimpangan sosial, eksistensi diri ala Descartes, bahkan cinta. Meskipun demikian, saya kira Pak Tjetjep lebih mempercayakan komposisi elemen-elemen rupa, daripada menorehkan pesan-pesan verbal pada kanvasnya. Melalui karya-karyanya beliau ingin mewujudkan bahwa ungkapan elemen rupa berikut cara penataannya dalam komposisi visual, mampu menghadirkan impresi, mengundang interpretasi, sekaligus dapat menitipkan pesan-pesan, tanpa terikat oleh obyek alam nyata dan unsur verbal. Saya jadi ingat ungkapan Édouard Manet (1832 – 1883), bahwa sebuah lukisan bukanlah soal “apa” melainkan “bagaimana”.

Bukan Pak Tjetjep jika karya-karyanya dalam satu periode tidak penuh variasi. Kenyataan ini sekaligus menggambarkannya sebagai seorang yang sarat dengan gagasan dan keranjingan bereksplorasi seni. Tiga buah lukisannya yang berjudul “Hujan Pancaroba”, menampilkan susunan spot berraut segitiga yang berulang, merepresentasikan tetesan air hujan dan menyuguhkan kesan optik, sebuah kecenderungan lain yang saya lihat dari karya-karyanya.

Lalu sebuah lukisannya yang menggunakan medium rentang tali dari benang-benang putih di atas putih kanvas berukuran 100 X 100cm. Rentang benang membentuk garis-garis ke arah kiri kanan memotong kanvas, sementara di pinggir atas dan bawah kanvas terdapat sapuan bidang memanjang aspal hitam. Tak ada warna lain. Sebagaimana lukisannya yang menggelitik, lukisan itu diberi judul “Horizontali”. Sebuah judul “plesetan” dari horizon dan tali yang otentik dan jenaka. Lukisan tak kalah menarik lainnya dalam ukuran besar yakni 208 X 236 cm terdiri atas dua panel juga secara cerdik menggunakan medium tali. Penggunaan tali plastik berwarna oranye yang dijahitkan pada bidang lukisan dari lembar fiber biru gelap berbarik garis-garis halus, yang sekaligus dimanfatkannya sebagai medium lukisan, menjadikan kombinasi tampak kontras dan tetap terjaga keserasiannya. Rangkaian jahitan tali membangun garis-garis bagai anak tangga yang tersusun ritmis di atas bidang biru gelap yang luas, menjadikan lukisan ini lebih tampil kontemporer.

Barik Garis. akrilik, bitumen, dan tali pada plastik fiber. 207X235 cm

Harmoni 69. kayu, kaca patri, dan kuningan pada papan kayu. 100X140X30 cm

Karya kolasenya dan barangkali dapat menjadi ikon pameran ialah karya rekatan yang memanfaatkan dua potong tampang kayu keropos karena lapuk, serpihan kaca patri, dan logam berbentuk tombol-tombol pada dua papan kayu tebal selebar 100 X 140 cm. Konfigurasi penampang kayu kecoklatan yang telah ber-coating dan logam-logam keemasan membangun angka 69. Secara keseluruhan karya ini tidak hanya cocok sebagai penanda pameran 69 karya Prof. Tjetjep, melainkan juga seolah mengajak kita untuk berfikir, merenung: raga boleh renta dan lapuk pada usia 69 tahun, tetapi semangat untuk menghasilkan karya-karya emas harus tetap terpatri di hati dalam berkreasi seni. Enam puluh sembilan karya bertahun sama bukanlah jumlah yang sedikit, bahkan sekitar 20-an karya berhasil diselesaikan selama sepekan menjelang pameran berlangsung!

Komposisi bidang-bidang lebar, polos, terkendali, sesekali menorehkan garis dan menabur barik, penggunaan kombinasi warna-warna kontras, kiranya merupakan gambaran jati diri Prof. Tjetjep sekarang ini. Setelah puluhan tahun meniti tangga karier, menggapai asa di kota Semarang yang panas dan hingar bingar, mewariskan bidang-bidang ilmu secara luas lugas tak kenal ingkar, menata rasa mengolah rupa dan menerakan tanda dalam berkarya, kini, yang dalam keadaan lapang dan bahagia membagikan segudang pengalaman estetisnya yang mengesankan. Semoga menginspirasi dan memotivasi banyak orang.

 



 
Komposisi 8. akrilik dan cat minyak pada kanvas 18 X 20 cm.


Bunga Senja. Bitumen, acrylic, oil on canvas. 78 X 118 cm









Selamat berpameran Prof. Tjetjep, Happy Birthday, dan Selamat memperingati Bulan Bahasa dan Seni ’17.
Semarang, September 2017 
Sinengkalan surya lelangon rupa datan rinengga
Aryo Sunaryo

Senin, 13 Januari 2014

Eksotika Kawasan Kota Lama Jalan Kepodang Semarang

Scene Jl. Kepodang Kota Lama Semarang
Jalan Kepodang di kawasan kota lama Semarang, baru saja dilapisi paving-block. Sekarang tampak lebih rapi, cantik dan gilar-gilar. Kawasan ini tidak jauh dari Gereja Blenduk ikon kota lama Semarang. Sayang, drainase di kiri dan kanan jalan yang memang tak terlalu lebar itu tidak pula sekalian dibangun kembali. Yang tampak ialah got yang mampet, dengan air comberan yang kotor. Celakanya, di perempatan jalan itu, tempat para penjual ayam jago petarung, justru banyak tumpukan sampah, potongan kayu-kayu, bambu, plastik, dan sebagainya yang menumpuk dan semakin menyumbat aliran got. Padahal di kawasan inilah pusat kegiatan yang selalu ramai dari pagi hingga siang, di bawah teduhnya bangunan-bangunan lama yang menjulang. Lengkap dengan warung gulai dan pedagang kaki lima. Sesekali di sini ada pula penjual obat yang menggelar dagangannya.Suasana inilah yang menjadikan kawasan kota lama dengan bangunan-bangunan tua itu menjadi hidup.


Poster ajakan sketsa bareng. Banyak orang-orang menyaksikan tanpa kami sadari ketika kami beraksi


Di sepanjang jalan Kepodang memang banyak bangunan tua peninggalan zaman kolonial yang berjajar, berimpit, berdesakan, yang membuat kawasan ini menjadi eksotik. Kebanyakan bangunan-bangunan tua itu tidak terawat, meski masih memantulkan keunikan bentuk dan keindahan ornamen-ornamen yang menghiasinya. Malah sebagian di antaranya, dinding-dindingnya mengelupas, ditumbuhi tanaman-tanaman liar, dicengkeram akar-akar yang menjalar. Tapi suasana yang demikian itu justru menjadi daya tarik kami untuk menjadikannya obyek-obyek sketsa.

Rudi Hartanto, teman kami, merupakan salah seorang sketser dan kontributor Urban Sketching dunia, yang tidak bosan-bosannya mengambil bangunan-bangunan di kawasan ini menjadi obyek berkarya sketsa.Sudah sekitar tiga tahun pula kami sesekali bertemu di kawasan ini untuk membuat sketsa bareng dengan teman-teman Indonesia's Sketcher-Semarang. Beberapa kali pula kelompok ORArT ORET yang juga gemar corat-coret membikin sketsa bersama di tempat ini.


Searah jarum jam: bangunan tua di sekitar perempatan, beberapa teman mensketsa yang lain mengabadikan, mejeng bersama dengan peserta baru, bergambar bersama setelah selesai sketsa bareng.

Pernah suatu kali kami membuat sketsa bangunan di bagian timur kawasan ini yang tidak beratap lagi. Meski tanpa atap, dinding fasadnya memiliki jendela-jendela yang unik, bahkan terdapat ornamen kala di ambang pintunya. Sebulan kemudian, akibat hujan deras dan tiupan angin kecang, dinding bangunan yang sudah mulai keropos itu roboh. Kini tinggal puing-puing, tapi kami sempat mengabadikan dalam rekaman sketsa.

Di samping obyek bangunannya, suasana kawasan dengan para penjual dan pembeli yang melakukan transaksi, para bebotoh ayam jago, kurungan ayam, pagar-pagar bambu, warung kaki lima dengan atap bentangan-bentangan plastik, bagi kami amat menarik direkam menjadi karya-karya sketsa.

Belum lama ini kami bertemu lagi untuk bersketsa-ria di sana. Inilah beberapa sketsa yang merupakan jejak rekam kawasan eksotik itu.... 

Bangunan tua yang sudah tak beratap



Bangunan tanpa atap  yang kemudian roboh setelah kami buat sketsanya
Pemandangan di sekitar perempatan Jl. Kepodang

Deretan bangunan di sisi selatan  















































Para penjual dan bebotoh jago petarung






Pak Marmo penjual ayam jago   









Rudi H, seorang Urban Sketcher sedang mensketsa



























Seorang teman sedang mensketsa (atas), santai sejenak di warung kaki lima (bawah).





Kamis, 15 November 2012

Keanekaragaman Ungkapan Karya Sketsa Para Anggota Komunitas Indonesia’s Sketchers


Keanekaragaman Ungkapan Karya Sketsa Para Anggota Komunitas Indonesia’s Sketchers

Oleh: Aryo Sunaryo


Komunitas Indonesia’s Sketchers, Visi dan Manifestonya
Indonesia’s Sketchsers yang disingkat IS merupakan sebuah grup terbuka pada jejaring sosial Faceobook dengan situs http://www.facebook.com/ groups/240007800116/?ref=ts&fref=ts. Sebagai komunitas dalam dunia maya itu, IS juga memiliki blog dengan alamat http://indonesiasketchers.blogspot. com/p/about-us.html. Sampai dengan bulan Februari 2012 tercatat lebih dari 2.900-an orang tergabung dalam kelompok ini. Sekarang ini (September 2012) anggotanya hampir mencapai 5.000 orang. Sebagian besar anggota IS boleh dikatakan merupakan anggota pasif, dalam pengertian lebih berperan sebagai pengamat atau apresian terhadap karya-karya sketsa yang di-posting dalam grupnya daripada banyak menghasilkan karya sketsa untuk diunggah dalam wall  FB IS. Mereka yang rajin mengirim karya-karya sketsa sekitar 20 persennya. Meskipun demikian, kita dapat melihat karya-karya sketsa hasil posting-an yang terdokumentasikan di album, wall, dan file, hingga ribuan banyaknya.
Indonesia’s Sketchers (IS) digagas pada bulan Agustus 2009 oleh Atit Dwi Indarty. Ide ini muncul ketika ia mengikuti perkembangan sebuah kelompok sketser internasional yang tergabung dalam Urban Sketchers, yang pada saat itu belum ada wakil sketser dari Indonesia yang dapat memberikan gambaran tentang Indonesia melalui sketsa. Ide ini juga timbul atas dasar keinginan untuk belajar bersama dalam sebuah grup. Tidak lama setelah IS digagas, Atit bertemu dengan seorang sketser asal Indonesia di Urban Sketchers, yakni Dhar Cedhar, yang juga memiliki visi dan misi yang sama. Mereka ingin menggalakkan seni sketsa di Indonesia, khususnya sketsa yang dibuat langsung di depan obyek sebagai karya yang dapat berdiri sendiri dan memberikan kontribusi bagi Indonesia melalui karya tersebut.
Komunitas IS memiliki sistim kepengurusan yang terdiri atas pengurus inti dan pengurus kondisional. Pengurus inti adalah pengurus yang dipilih setiap dua tahun sekali untuk mengatur jalannya IS, sedangkan pengurus kondisional ditentukan untuk mendukung program-program tertentu yang sifatnya lebih sementara, misalnya dalam kegiatan pameran, workshop, dan lain-lain. Calon-calon pengurus adalah anggota-anggota yang aktif, atau yang mengajukan diri dan yang bersedia menjadi pengurus.
Dalam perjalanannya, setelah melalui berbagai posting karya para anggotanya, gathering dan sharing yang dilakukan oleh beberapa kelompok, interaksi dan diskusi secara on-line, IS kemudian menetapkan tujuan yang tertuang dalam rumusan visinya, serta “aturan main” atau mekanisme berkarya sketsa, semacam pandangan kelompok yang mengarahkan tujuan kelompok dalam apa yang mereka sebut sebagai manifesto.
Visi IS adalah: Mengembangkan semangat bertutur/ bercerita tentang kondisi di sekitar kita melalui sketsa langsung di lokasi. Sementara pada manifesto IS, dinyatakan dalam enam pernyataan sebagai berikut:
  1. Mensketsa apa yang dilihat/ dialami di lokasi melalui pengamatan langsung, baik di dalam maupun di luar ruangan.
  2. Bercerita tentang lingkungan tempat tinggal dan pengamatan saat bepergian melalui sketsa.
  3. Mensketsa situasi dan kondisi apa adanya.
  4. Bebas menggunakan media, baik manual ataupun digital.
  5. IS menghargai gaya setiap individu.
  6. Memberikan keterangan singkat situasi, kondisi, tempat, waktu dan teknis atas sketsa yang dibuat. Selanjutnya, pada bagian akhir manifesto ditambahkan catatan. Bila ada anggota yang memposting karya tidak sesuai dengan manifesto di atas, admin akan mengembalikan postingan anggota dan menghapusnya.
Dengan mengusung semboyan/ tagline: “We Draw What We Witness”, IS menekankan pada sketsa sebagai benar-benar hasil “tangkapan” langsung apa yang dilihat, bukan “imajinasi murni” ataupun photo re-work, demikian ungkapan seorang pengurus inti dalam mengingatkan para anggotanya. Meskipun demikian, karena latar belakang yang sangat beragam dari para anggotanya, tetap saja kerap kali terjadi perbedaan pandangan untuk menafsirkannya, termasuk pemahaman anggota terhadap karya sketsa. Di lain pihak, IS sangat membuka berbagai kemungkinan bentuk ungkapan karya sketsa, tidak juga menganut pada pengertian di kamus atau definisi sketsa manapun, melainkan yang penting berkarya, berproses, dan sketsa dilakukan on lacation atau live sketching.
Dalam hal peningkatan kualitas, terdapat saran yang menarik dari anggotanya, yakni IS harus ketat dengan Visi dan Manifestonya, terutama yang bertalian dengan isi dan konteks berkarya, sehingga bukan hanya persoalan teknik dan subyektivitas sketser yang muncul. Sesuai dengan manifestonya, IS hendaknya merupakan ajang saling bertukar ceritera melalui sketsa. Di lain pihak, ada yang menyarankan agar lebih terbuka, karya sketsa tidak semata sebagai jurnalisme visual sebagaimana pada Urban Sketchers, melainkan lebih dari itu, di samping pengubahan nama komunitasnya menjadi Komunitas Sketsa Langsung jika memang cara menghasilkan sketsa semacam itu.

Tema dan Obyek Karya
Dari segi tema, karya-karya sketsa para anggota IS dapat dikelompokkan menjadi (1) bangunan, (2) ruang publik, dan ruang privasi, (3) landscape perkotaan maupun pedesaan, (3) manusia dan aktivitasnya, (4) pasar dan pedagang, (5) kendaraan dan transportasi, (6) kesenian/ budaya, (7) binatang, (8) tumbuh-tumbuhan, (9) benda-benda dan produk makanan. Dari setiap tema dapat dirinci ke dalam obyek-obyek yang menjadi sasaran perhatian para sketser untuk diwujudkan menjadi karya sketsa. Sejumlah kecil obyek yang digambar ada yang sangat spesifik, sehingga sulit untuk diklasifikasikan ke dalam tema-tema tersebut. Misalnya obyek gardu listrik, tiang listrik di tepi jalan, alat-alat berat semacam bego, pesawat tempur, dan persimpangan rel kereta api.
Dalam tema bangunan, obyek-obyek yang menarik perhatian para sketser yang tergabung dalam komunitas IS mencakupi bangunan tua, misalnya bangunan keraton, candi, masjid tua, gereja, klenteng, pura, gerbang, benteng, dan sebagainya, serta bangunan-bangunan baru atau modern yang umumnya terdapat di perkotaan, misalnya gedung bertingkat, hotel, pertokoan, bangunan rumah di tepi jalan raya, dan semacamnya. Karya sketsa dengan tema bangunan paling digemari, karena itu paling banyak jumlahnya (21,4%) dibanding tema lainnya. Hal ini terkait pula dengan kecenderungan Urban Sketchers yang menjadi inspiratornya.
Selanjutnya, ke dalam tema ruang publik misalnya sketsa yang mengambil obyek taman, tempat-tempat rekreasi, alun-alun, kemudian stasiun, bandara, terminal, pelabuhan, tempat-tempat bersantai dan makan minum yakni resto, cafe, coffeeshop, rumah makan, warung makan, dan lain-lain. Suasana interior baik untuk umum maupun yang lebih bersifat privasi misalnya ruang kerja berikut perabotnya, kemudian eksterior semisal sebuah teras, halaman rumah dimasukkan ke dalam bagian tema ini, sebesar 13,6%.
Sketsa dengan tema landscape sebesar 9,5%, para sketsernya mengambil obyek-obyek scene perkotaan, perkampungan, maupun pedesaan, serta obyek-obyek panoramik lainnya seperti gunung, sawah, dan dangau. Tema manusia dalam berbagai aktivitasnya merupakan tema yang juga banyak dipilih setelah tema bangunan, sebesar  18,7%. Yang menjadi obyek mulai dari potret seseorang, sosok utuh dalam sikap berdiri, duduk, dan lain-lain, sampai kepada obyek-obyek anggota badan, misalnya kaki dan tangan. Lalu juga obyek sosok manusia sebagai penari, pemusik, pengamen, pemulung, pekerja bengkel, pekerja pembangunan, dalam aktivitas sehari-hari, baik dalam keadaan sendirian, dengan beberapa sosok lainnya, maupun dalam kerumunan.



Gambar 1. Gereja.
 Sebuah sketsa tematik Bulan Desember karya Atit Dwi Indarty sebagai satu contoh obyek bangunan tua di Jakarta

Gambar 2. Ruko Harapan Indah.
.Sebuah sketsa minggu pagi menggunakan tinta dan cat air karya Yanuar Ichsan. 
Contoh sketsa yang mengambil obyek bangunan modern

Tema berikutnya yang dipilih ialah tema pasar dan pedagang, yakni sebesar 7%, dengan obyek-obyek pasar tradisional, pasar burung, kios yang banyak menempati pinggir jalan, dan para pedagang asongan maupun pedagang kaki lima (PKL), misalnya penjual bakso, angkringan, penjaja makanan dan minuman, pejual sayur, dan lain-lain. Kemudian tema kendaraan dan transportasi yang juga cukup banyak peminatnya antara lain dengan obyek bemo, kereta, mobil, becak, perahu, kapal, pesawat, truk, loko, gerobak, dokar, termasuk obyek suasana di dalam angkutan, misalnya dalam bus, angkot, kereta, pesawat, dan lain-lain sebesar 7,4%.
Tema kesenian/ budaya, meskipun tidak banyak, kurang dari 3%, terdapat pada karya-karya sketsa yang mengambil obyek misalnya pertunjukan wayang kulit, ondel-ondel, ogoh-ogoh, upacara pernikahan, kirab, sekaten, gunungan, miyos gangsa, dan idul kurban. Tema binatang, seperti pengambilan obyek-obyek kucing, anjing, kerbau, ayam, kuda, kancil, kura-kura, dan ikan juga ada meskipun tidak banyak, yang hanya 2,9%. Demikian pula tema tumbuh-tumbuhan, dengan obyek pepohonan, nyiur, pohon pepaya, bambu, tanaman merambat hingga ranting, ada tidak terlalu banyak, sekitar 3,4 %. Sementara tema benda-benda dengan obyek botol, sepatu, alat tulis, kamera, kaca mata, lipstik, mouse, stappler, alat-alat pertanian, pot, tempat sampah, baju, sendok-garpu, produk makanan dan buah-buahan, dan lain-lain hampir mencapai 11%.
 Pada umumnya tema dan obyek dipilih karena alasan obyeknya memiliki bentuk menarik, unik, dan indah, sehingga merasa perlu untuk diinformasikan baik mengenai obyek itu sendiri maupun hal-hal yang bertalian di luarnya. Beberapa di antaranya mengaku karena mereka sering melihat atau memilikinya sehingga sangat mengenali obyeknya. Tetapi ada pula yang mengaitkannya dengan identitas dan sangat bertalian dengan aktivitas masyarakat sekitar, karena itu penting untuk diungkapkan dan disampaikan.


Gambar 3. Taman Kecil Tak Terawat. Tinta dan cat air
 Sebuah sketsa bertema ruang publik berupa taman
karya Antown Holic.


Gambar 4. Coffeshop.
Sebuah sketsa bertema ruang publik masyarakat urban menggunakan tinta dan pensil warna karya Donald Saluling


Media dan Teknik Bersketsa
Media yang digunakan untuk mengerjakan sketsa yang dilakukan para sketser IS bermacam-macam. Dari pengamatan terhadap 724 karya sketsa, tinta merupakan media yang paling banyak digunakan (38,5%). Termasuk media tinta ialah pemakaian drawingpen, ballpoint, spidol, marker, boxy, tinta cina dengan pena atau kuas, yang digunakan dalam penyajian hitam putih. Kemudian pemakaian media tinta yang disajikan dengan nada-nada tengah (halftones) atau nada keabu-abuan (greyscale) dengan cara pembasuhan tinta (wash) atau dengan penambahan goresan maupun dusel pensil. Penggunaan media tinta dengan halftones ini ada sekitar 5,8 %. 


Gambar 5. Penjual Tongseng
 Sebuah sketsa bertema pedagang menggunakan tinta karya Yoso Banyudono
Teks di bagian kiri atas merupakan storytelling singkat tentang sketsa tersebut.


Gambar 6. Nonton Wayang.
 Sebuah sketsa bertema kesenian/ kebudayaan menggunakan tinta dengan  rendering arsir 
yang halus. Karya Dadang Pribadi
 
Berikutnya ialah penggunaan media tinta dengan cat air. Pewarnaan dengan cat air setelah sketsa dikerjakan dengan tinta, ternyata cukup digemari para sketser IS, hingga mencapai 34,3 %, baik pewarnaan secara monokromatik yang hanya menggunakan satu warna maupun polikromatik yang menggunakan banyak warna. Sejumlah di antaranya yakni sebanyak 5,1 %, sketsa dikerjakan melulu dengan cat air menggunakan kuas sehingga sangat mirip dengan pengerjaan lukisan.
Sketsa yang dikerjakan menggunakan pensil saja mencapai 12,1%. Rupanya pensil merupakan media pilihan kedua setelah tinta. Termasuk media pensil ialah berbagai jenis pensil, mencakupi pensil warna dan pensil arang (konte). Media lainnya yang lebih sedikit digunakan ialah media digital dan penggunaan media campur (mixmedia), masing-masing sekitar 2%.
Teknik penyajian karya sketsa dapat dikelompokkan menjadi dua, yakni penggunaan garis murni tanpa render dan dengan rendering. Yang tanpa dirender, hanya sekitar 13,9% tersaji dalam bentuk (1) kontur, (2) gestur, dan (3) campuran. Penyajian sketsa dengan rendering banyak dilakukan, hampir mencapai 86%. Rendering sketsa menggunakan (1) arsir, baik yang rinci maupun seperlunya, (2) blok atau spot, dan (3) pewarnaan. Teknik arsir paling banyak dilakukan, mencapai 45%, kemudian dengan mewarnai mencapai 39%, selebihnya dengan teknik blok yakni dengan penambahan bidang atau bercak-bercak hitam yang kurang dari 2%. 


Gambar 7. Bemo-bemo
 Sebuah sketsa bertema transportasi. Karya dengan goresan dan sapuan sederhana namun efektif. Media tinta dan cat air pada sketchbook. Karya Widiyatno
 

Gambar 8. Kucing
Sebuah sketsa bertema binatang. Media pensil. Renderingnya tidak berlebihan namun tetap dapat mensugesti bentuk obyeknya. Karya Anissa
  
Ungkapan Bentuk dan Pesan Karya Sketsa
Mengenai pendekatan atau gaya karya sketsa, sebagian besar (67,54%) karya sketsa tergolong impresionistik dan dikerjakan dengan tidak terlalu rinci. Bentuk ungkapan impresionistik cukup menampilkan kesan-kesan obyeknya atas hasil tangkapan sesaat dari kegiatan menggambar langsung dan hal ini merupakan kecenderungan umum dalam karya sketsa. Sebesar 23,75% dikerjakan sangat rinci, presisi, dalam gaya realistik. Penyajian gaya realistik umumnya dilakukan oleh mereka yang memiliki kecermatan kuat dalam menggambar dan kebiasaan mereka dalam membuat gambar ilustrasi. Sketsa jenis demikian lebih merupakan gambar lengkap dan tentu membutuhkan waktu yang tidak singkat.

Gambar 9. Speda di Pohon
Sketsa bergaya realistik menggunakan tinta dengan teknik rendering yang rinci menyajikan gambar lengkap.
Karya Dhar Cedhar


Gambar 10. Pemulung
Media pensil. Sebuah sketsa realistik yang diselesaikan 
dengan arsiran seperlunya bertema sosok manusia, 
yang menyentuh kehidupan manusia. Karya Ivanda Ramadhani
Sebagian lagi sebesar 6,76% termasuk dalam pendekatan ekspresif, dengan sentuhan emosi dan spontanitas yang kuat, sehingga terdapat distorsi bentuk. Sketsa dalam jumlah yang tidak terlalu banyak ini lebih menampilkan karakteristik sebuah sketsa dan lebih punya “greget”. Goresan spontan, dengan tarikan garis-garis lancar yang dikerjakan dalam waktu singkat, kemudian penyajian yang sederhana, esensial, dengan intensitas emosi yang menyertainya merupakan kekuatan karya sketsa tersebut. 


Gambar 11. Taman Makam Prasasti 
Sketsa ekspresif-impresionistik karya Indra Gunadharma menggunakan tinta yang dilengkapi dengan aksen blok dan goresan yang mensugesti massa bentuknya.
 

Gambar 12. Tamansari
Sketsa ekspresivistik karya Faisal Amir, memperlihatkan goresan spontan dan cepat, sugestif, distorsif.  Media tinta yang dipadu dengan nada tengah dan percikan

Gaya lain yang juga dalam jumlah kecil (1,65%) ialah dekoratif melalui stilisasi. Bahkan ada pula yang diabstraksikan sehingga sangat sulit dikenali kembali obyeknya dan tampilan bentuk transformatif. Dalam hal sketsa yang menjadi abstrak dan bentuk yang transformatif, tentulah kurang sejalan dengan manifesto yang diusung IS, karena karya yang demikian itu mengesampingkan segi naratifnya serta lebih merupakan hasil imajinasi daripada ungkapan apa adanya sesuai dengan hasil tangkapan mata. Bagaimanapun, gejala ini menunjukkan bahwa sketsa dapat diwujudkan dalam bentuk yang beragam, mulai dari bentuk-bentuk yang sangat mirip dengan obyeknya hingga pada bentuk-bentuk gubahan yang jauh dari reperesentasi obyeknya.



Gambar 13. Ibu dan Anak
 Sketsa karya lama Junita Bahari Nonci yang mengabstraksikan bentuk dan di-posting di wall Indonesia’s Sketchers.
 
Tidak semua sketser mempunyai pesan di balik pemilihan obyek karyanya. Tetapi sejumlah di antaranya, dapat diketahui bahwa melalui karya-karya sketsa yang dihasilkan, pesan-pesan yang ingin disampaikan para sketser ialah (1) penyampaian infomasi dan komunikasi, (2) ungkapan keanekaragaman, (3) cinta dan perhatian, (4) potret dan kritik sosial, dan (5) berbicara tentang kemanusiaan.
Pesan yang terkait dengan penyampaian informasi dan komunikasi lebih menggambarkan dan mempraktikkan semangat berbagi ceritera tentang apa yang terdapat dan terjadi di lingkungan sekitar para sketsernya. Pemikiran ini sangat sejalan dengan visi dan manifesto IS. Melalui karya-karya sketsa yang disuguhkan dapat diketahui oleh orang lain tentang obyek, hal atau peristiwa, kebiasaan dan tradisi masyarakat, atau apa saja yang menarik perhatian sketser untuk disampaikan.
Melalui karya sketsa pula pesan tentang adanya keanekaragaman yang terkandung di dalamnya  ingin disampaikan. Selain lebih membuka wawasan tentang berbagai obyek yang dapat direkam dalam karya sketsa dengan bermacam cara dan berdasarkan pandangan setiap sketsernya, pesan ini akan membuka kesadaran orang akan adanya keanekaragaman suatu obyek, baik yang diciptakan manusia maupun obyek-obyek ciptaan Tuhan. Pesan tentang ungkapan keanekaragaman sesungguhnya juga sejalan dengan semangat untuk bertutur dalam berkarya sketsa.
Sementara pesan tentang cinta dan perhatian, selain terkandung pengertian untuk berbagi ceritera, sebagai seorang pribadi, seorang sketser juga ingin menunjukkan bahwa ia memiliki perhatian dan perasaan terhadap suatu obyek atau hal yang berbeda dengan orang lain. Kemudian atas hasil pengamatan, pemahaman, dan sikap terhadap gejala yang terjadi di lingkungan sosial, melalui karya sketsa, seorang sketser menyampaikan pesan potret dan kritik sosial. Bagaimana sekelompok masyarakat menghargai karya budaya, menjaga dan merawat warisan budaya atau sebaliknya meninggalkan dan mencampakkannya, kegiatan dan kebiasaan suatu masyarakat dalam menyikapi lingkungan, misalnya, dapat tersajikan di balik obyek-obyek pilihan sketsernya. Potret masyarakat dengan pribadi-pribadi yang unik dalam berbagai kegiatan dan persoalan yang dihadapi untuk memperjuangkan kehidupannya masing-masing, dapat ditemukan dan diangkat menjadi tema berkarya sketsa, yang di dalamnya syarat mengandung persoalan kemanusiaan.


Simpulan dan Saran
Sebagai bagian dari gambar, sketsa merupakan karya catatan yang umumnya dibuat dalam waktu singkat dengan tujuan yang bermacam-macam. Sebagian di antaranya merupakan rekaman visual atas pengamatan langsung, menceriterakan obyek yang menarik perhatian pembuatnya, sebagian lainnya untuk sarana ungkapan pikiran dan perasaan pembuatnya, sampai kepada keinginan mengkomunikasikan gagasan serta menitipkan pesan-pesan.
Berbagai bentuk ungkapan sketsa para sketser yang tergabung dalam komunitas Indonesia’s Sketchers menunjukkan keanekaan tema dan obyek sketsa, gaya, penggunaan media dan teknik, pesan yang diinginkan, serta wawasan terhadap karya sketsa, sesuai dengan beragamnya latar belakang yang dimiliki oleh setiap anggota komunitas. Salah satu kesamaan pandang dalam berkarya sketsa ialah kehadiran sketsa yang dilandasi oleh pengamatan langsung terhadap obyeknya. Aneka bentuk ungkapan dan pesan yang terkandung dalam sketsa para anggota IS dengan latar belakang para sketser yang beragam telah menjadikan sketsa sebagai karya yang karakteristiknya mencair, meluas, dan berkembang sehingga sulit ditentukan batas-batasnya dengan karya gambar bahkan lukisan.
Mengingat bahwa komunitas IS merupakan grup terbuka, diperlukan pengelolaan dan pengorganisasian yang lebih ketat dan solid dengan melaksanakan program-program secara konkret dalam rangka meningkatkan kualitas karya-karya sketsa yang di-posting, sehingga memiliki andil yang nyata dalam percaturan di tingkat global.
Sesuai dengan nama komunitas yang langsung menunjuk pada sketser Indonesia, hendaknya lebih terbuka menampung bermacam pewacanaan sketsa, sehingga tidak harus berkiblat pada komunitas lain dengan visi dan misi yang bisa berbeda. Jejaring sosial seperti facebook merupakan salah satu media yang ampuh untuk memamerkan karya-karya sketsa dan ajang berbagi pengalaman terkait dengan berkarya sketsa, karena itu hendaknya dimanfaatkan secara optimal dan mampu menyebarluaskan karya-karya sketsa anak negeri pada tataran dunia.